Header Ads

ads header

Breaking News

BAB. 1 PEMBAHASAN KONSEP USHUL FIQIH DAN RUANG LINGKUPNYA

 KONSEP USHUL FIQIH DAN RUANG LINGKUPNYA

B. B. Konsep Fiqh dan Ruang Lingkupnya 

1. Pengertian Fiqh

Menurut bahasa, “fiqh” berasal dari “faqiha yafqahu-fiqhan” yang berarti mengerti atau paham. Paham yang dimaksudkan  adalah upaya aqliah dalam memahami ajaran-ajaran islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-‘ilmbisyai ‘i ma’al-fahm). Ibnu Al-Qayyim mengatakan bahwa fiqh lebih khusus daripada paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Quran, secara tekstual maupun kontekstual.

Tentu saja, secara logika, pemahaman akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hal dari pemahaman terhadap teks-teks islam disusun secara sistematis agar mudah diamalkan.

Oleh karena itu, ilmu fiqh merupakan ilmu yang mempelajari ajaran islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang sistematis.

Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata-kata fiqh yang artinya adalah paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqh itu, seorang alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang teguh.

Studi fiqh merupakan studi yang paling luas dalam islam. Sejarahnya lebih tua daripada studi Islam lainnya. Ia telah dipelajari pada skala yang sangat luas sepanjang masa itu. Banyak fuqaha yang telah tampil dalam islam dan jumlah mereka tidak dapat dihitung.

Kata fiqh dan tafaquh berarti pemahaman yang dalam. Keduanya sering digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(Q.S.At-Taubah:122).

Rasulullah SAW. Telah memerintahkan beberapa diantara para sahabat untuk memahami secara mendalam (taffaquh) atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqh atau fuqaha (bentuk jamak dari faqh).

Dalam terminoligi Al-Quran dan Sunnah, faqh adalah pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dari realitas islam dan tidak memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam terminologi ulama, istilah fiqh secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum islam.

Adapun menurut pengertian fuqaha (ahli hukum islam), fiqh merupakan pengertian zhanni (sangkaan; dugaan) tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Ahli fiqh disebut faqih/jamaknya fuqaha, sebagaimana orang-orang yang banyak ilmunya disebut ulama, yang jika seorang diri disebut alim. 

Pemahaman ulama terhadap syariat amaliyah atau hukum-hukum islam yang praktis didasarkan pada proses pemikiran yang mendalam, sehinggga fiqh merupakan bagian dari ijtihad dan sudah tentu hasil pemikiran para fuqaha sama dengan hasil pemikiran para mujtahid. Apabila terdapat pemahaman tentang zhanni-Nya produk fuqaha, hal tersebut disebabkan dari pandangan awal bahwa hukum islam yang digali oleh para fuqaha tidak terlepas dari berbagai perbedaan pemahaman fiqhiyah. Oleh sebab itu, yang zhanni bukan hanya fiqh sebagai ilmu, tetapi produknya pun bersifat zhanni, sehingga dalam tata cara pelaksanaan hukum islam, dari hal-hal yang menjadi  bagaian dari furu’iyah selalu terdapat perbedaan.

Sebagai contoh, ketika para ulama menafsirkan salah satu lafazd yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 6. Dimana para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata

ا ب ر ء و سكم و ا مسحو (dan sepuluh kepalamu), ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan birusikum adalah sebagian rambut dikepala. Dengan demikian, huruf ”ba” yang terdapat pada kata itu berarti sebagaian, sedangkan ulama lainya berpendapat bahawa yang dimaksud dengan birusikum adalah membasuh seluruh rambut di kepala. Oleh karena itu huruf ”ba” pada kata tersebut berarti keseluruhan.

Karena adanya perbedaan pemahaman huruf ”ba” pada kata birusikum, praktik membasuh kepala pada saat berwudhupun berbeda. Mereeka yang bermahzab Syafi’i meyakini bahwa membasuh hanya sebagian, bahkan sehelai rambut dengan air ketika berwudhu itupun sudah sah, tetapi mereka yang bermahzab Maliki akan membasuh kepala secara keseluruhan, mulai rambut depan hingga belakang, dan berpandangan bahwa membasuh kepala secara keseluruhan merupakan cara berwudhu yang paling benar.

Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqaha merupakan bagian dari kajian ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh, sehungga apabila tejadi perbedaan pandangan sebagaimana kasus membasuh rambut ketika berwudhu, dalam ushul fiqh disebut dengan ta’arudh, yang jika terjadi pertentangan dapat dilakukan solusi tertentu, yaitu sebagai berikut: 
1. Thariqah al-jam’i, yaitu mengompromikan kedua pendapat yang bertentangan sehingga keduanya dapat dilaksanakan, yang dlam bahasa ilmiah disebut dengan sintesis. Dalam perbedaan membasuh rambut jalan yang ditempuh dalam paham ini ialah menerima pendapat yang menyatakan membasuh rambut secara keseluruhan, karena jika membasuh seluruhnya, yang sebagainya telah diamalkan, jalan ini bukan berarti menyalahkan pendapat tentang “membasuh sebagain rambut” melainkan membenarkan pendapat tersebut sehingga keduanya dapat diamalkan. 
2. Nasikh-mansukh, yaitu mencari dalil yang datang terlebih dahulu dan yang kemudian untuk diketahui apabila dalil yang datang kemudian menghapus kandungan dalil yang pertama. 
3. Tarjih, yang menetapkan dalil yang terkuat dari segi riwayat maupun sanandnya, bahkan dari segi matanya, sebab meskipun dari riwayat dan sanadnya sahih tetapi jika matanya bertentangan dengan ayat Al-Quran, tentu harus ditinggalkan, misalnya ada hadist yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari tentang “badal haji” yaitu jika orang tua berniat naik haji, tetapi keburu meninggal dunia, maka ahli warisnya harus menghajikanya. Jika teks tersebut dipahami sebagai utang haji kepada Allah dari orang tua yang berniat haji, yang harus dibayar oleh ahli warisnya, seolah-olah perbuatan seseorang dapat dibebankan kepada orang lain. Padahal, Allah menyatakan bahwa setiap orang akan bertanggung jawab atas perbuatanya masing-masing dan pahala seseorang tidak tidak akan berpindah pada orang lain. Dengan demikian, ahli waris yang melaksanakan ibadah haji karena orang tuanya yang berniat haji keburu meninggal dunia dapat dipandang sebagai bagian dari kebaikan anak yang shaleh kepada orang tuanya. Anak yang shaleh harus merasa memiliki utang kepada Allah, jikka niat orang tuanya tidak tercapai, apalagi niatnya sangat mulia. Ketika anaknya melaksanakan badal haji, yang menjadi haji tentu dirinya, bukan orang tuanya. 
4. Tawaquf, yaitu tidak melakukan pemecahan masalah dengan tiga hal di atas, karena tawaquf sebagai alternatif terahir. Permasalahan yang bertentangan dinyatakan sebagai status quo, menunggu ditemukanya keterangan lain atau informasi yang lebih akaurat mengenal masalah yang bersangkutan.

Itulah beberapa metode yang tedapat dalam fiqh manakala ada masalah yang saling bertentangan. Perbedaan yang berkaitan dengan pemahaman ulama atau fuqaha atas ajaran islam tidak akan dapat dihilangkan karena perbedaan merupakan hukum islam. Jika melihat sejarah agama islam yang telah disebarkan sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pada zaman zakarang ini yang disebut sebagai abad milenium, tentu akan ada perbeedaan pemahaman historis, terlebih berkaitan dengan ayat-ayat Al-Quran yang ditulis dengan bahasa Arab. Orang islam pun tidak semuanya memahami bahasa Arab, dan bahasa Arabpun mengalami perkembangan karena bagian dari kebudayaan masyarakat yang juga bagian dari alat komunikasi. 

    2. Kegunaan Ilmu Fiqh

            Kegunaan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqh menjadi rujukan bagi seorang hakim dan putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk megetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada mukallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.

            Dengan kaidah dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash dengan cara kias, istihsan, istishab atau yang lain; dapat benar-benar dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid; dapat dijadikan penimbang (sebab terjadinya) perbedaan madzhab diantara mereka terhadap suatu bentuk kejadian. Karena tidak mungkin memahami hukum dari satu sudut pandang atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan ilmu ushul fiqh yang merupakan dasar ilmu fiqh perbandingan.

3           . Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqh

            Fiqh itu bukan syari’at, melainkan bagian kecil dari syariat. Hal ini terlihat dari cara syariat islam dalam penetapan dan pengelompokan hukum, yakni pengelompokan pada dua bagian: ibadah dan muamalah. Pembagian ini sesuai dengan tujuan umum syariat Islam, yakni untuk memenuhi kemashlahatan umat manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dua hubungan yang harmonis harus dipenuhi, yaitu hubungan vertikal antara manusia dan penciptanya, yang dituangkan dalam bentuk ibadah, dan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia (al-mu’amalat). Bila kedua hubungan ini terpelihara, manusia akan hidup sejahtera.

            Pokok bahasan dalam ilmu fiqh ialah perbuatan mukallaf, merupakan apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketetapan hukumnya. Karena itu dalam ilmu fiqh yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyangkut ghubungannya dengan tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hububgan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya. Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama fiqh. Menurut para Ulama Fiqh pada umumnya, poko pembahasan ilmu fiqh terdiri dari empat pembahasan yang sering disebut dengan Rubu’. Yaitu: 

    1. Rubu’ Ibadah 

    2. Rubu’ Muamalah 

    3. Rubu’ Munakahat 

    4. Rubu’ Jinayat

Ada lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu bab ibadah, bab muamalah, bab uqtubat. Menurut Prof. T.M Hasbi Asy-Shidiq, bila kita perinci lebih lanjut dapat di kembangkan menjadi delapan pokok pembahahasan yaitu: ibadah ahwalul syasiah, muamalah madaniyyah, muamalah maliyah, jinayat, ukhtubah (pelanggaran dan hukuman), murafah atau muhasanah, ahmadustiriyyah, dan ahmadud du’aliyyah.

C.     4.   Hubungan antara Ushul Fiqh Dan Fiqh

            Ilmu ushul fiqh memainkan peran logika dalam hubungannya dengan ilmu fiqh. Hubungan antar keduanya adalah hubungan antara teori dan aplikasinya, sebab ilmu ushul merumuskan teori-teori umum dengan menetapkan unsur-unsur umum dalam proses deduksi, sementara ilmu fiqh mengaplikasikan teori dan unsur umum itu pada unsur khusus yang berbeda dari suatu masalah ke masalah lain. 

    Saling berhubungan yang kuat antara ilmu ushul dan ilmu fiqh menjelaskan interaksi timbal balik antara pandangan ilmu ushul (yakni standar riset intelektual pada tatanan teori) dengan pandangsn ilmu fiqh (yakni standar riset intelektual pada tatanan aplikasi). Hal ini disebabkan pengembangan riset aplikasi akan memajukan riset teori berkat kenyataan bahwa pengembangan semisal ini akan mengungkapkan kesulitan baru yang sebelumnya tidak ada dan akan memaksa ilmu ushul untuk merumuskan teori-teori umum guna menyelesaikan kesulitan-kesulitan itu. Begitu pula akurasi dan ketelitian yang diperlukan dalam riset teori dalam tatanan aplikasi

            Hubungan antara fiqh dan ilmu ushul merupakan satu contoh relasi yang panjang dalam berbagai bidang, antara studi tentang teori dan aplikasinya.

            Ilmu ushul fiqh itu kakak beradik dengan ilmu fiqh, sebab keduanya bagaikan tahkrij al-ahkam dengan takbid al-ahkam. Sebagaimana pengertian ushul fiqh yang terdiri dari dua kata, yaitu kata ushul untuk jamak dari ashl dan kata fiqh










Tidak ada komentar