Header Ads

ads header

Breaking News

BAB. 1 PEMBAHASAN Konsep Ushul Fiqh Dan Ruang Lingkupnya

KONSEP USHUL FIQIH DAN RUANG LINGKUPNYA

1. Pengertian Ushul Fiqh

Kata “ushul fiqh” terdiri dari dua kata, yaitu ushul ((اصول, yaitu sumber atau dalil dan fiqh(الفقه) , yaitu mengetahuai hukum-hukum syara’ tentang perbuatan praktis mukallaf , seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain. Orang yang mengetahui hukum-hukum itu disebut faqih, sedangkan orang yang ahli dalam ushul fiqh adalah ushulliyin.

Hukum-hukum tersebut ialah bersumber pada Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas. Dengan demikian yang dimaksud dengan ushul fiqh ialah dasar pemahaman metodologis terhadap sumber-sumber ajaran atau dalil-dalil, yang disebut sebagai metode istinbath hukum. Istinbath sendiri artinya ialah menggali atau mengeluarkan (istikhraj), al-ahkam artinya hukum-hukum yang terkandung dalam sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.



Ilmu ushul fiqh menyelidiki keadaan dalil-dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana cara dalil-dalil tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa atau mukallaf. Oleh karena itu, yang dibicarakan ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjuknya kepadsa hukum atas perbuatan orang mukallaf.

Ushul fiqh didefinisikan oleh ahli ushul dengan beragam. Ada yang menekankan pada ada fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya. Namun, prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secsra global dengan semua seluk-beluknya.

Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama syafi’iyah, ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakanya. Ibnu Al-Subki mendenifisikan ushul fiqh sebagai himpunan dalil fiqh secara global.

Pendapat ini dikemukakan oleh Syeh Muhammad Al-Khudhury Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamalludin Ibnu Humam dari kalngan ulama hanfiyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.

Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, Guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan “Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.

Dengan demikian, ushuk fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya adalah dalil-dalil hukum atau sumber hukum dengan seluk-beluknya dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.

Sekarang ini, Istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariat (roh Hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqhiyah.

2. Kegunaan ushul fiqh

Kegunaan mempelajari ushul fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syariat islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan) untuk menghindari taklid (mengikuti orang lain tanpa mengetahui alasan-alasanya). Hal ini berlaku kalau memang ushul fiqh ini benar-benar digyunakan menurut semestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang dari soal-soal yang pokok atau dengan mengmbalikan soal-soal cabang pada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujjahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.

Tujuan ilmu Ushul Fiqh menurut Abdul Wahab Kholaf adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’ dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentngan antara sebagian nash dengan yang lain.

Ushul fiqh berguna untuk mengeluarkan ketentuan atau ketetapan hukum dari sumber hukum islam, yakni Al-Qur’an, melalui penerapan kaidah-kaidah ushul yang berlaku. Dengan memahami ushul fiqh dan menerapkanya, orang islam akan terhindar dari sikap taklid. Ushul fiqh adalah metode istinbath hukum yang berguna untuk mengeluarkan dalil-dalil bagi perbuatan mukallaf, dan menetapkan hukum dan melaksanakan suatu perintah yang bersangkutan.

Selain kegunaan diatas, ushul fiqh berguna juga untuk hal-hal dibawah ini :  


1.      Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.

2.      Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantab dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.

3.      Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.

4.      Memelihara agama dai penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada ushul fiqh, hukum yang dilakukan melalui ijtihad tetap diakui syara’.

5.      Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang dimasyarakat.

6.      Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat.

    Gambaran keunggulan ushul fiqh akan lebih jelas manakala menerapkan kaidah ushuliyah lughawiyah, misalnya di dalam Al-Quran terdapat ayat Aqim ash-shalat. Kata aqim adalah kata perintah atau fi’lu al-amr, lalu digunakan kaidah: al-ashl fi al-amr lilwujub. Asal dari perintah itu wajib. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat itu hukumnya wajib. Lalu, ditanyakan apa saja shalat yang wajib itu? Jawabanya dapat dicari dalilnya dari Al-Quran dan Hadist. Misalnya dalam hadist, Rasullullah SAW. Pernah ditanya oleh sahabat:

[1] ما فر ض ا لله علي من ا لصّلا ة ؟ قا ل: ا لصّلوا ة ا خمسة'

Artinya:“Shalat apa yang diwajibkan oleh Allah kepadaku? Rasulullah SAW, menjawab, “ Shalat lima waktu”.

Dengan hadist tersebut, asal dari perintah wajib itu adalah perintah tentang shalat lima waktu, kecuali ada dalil yang menyimpangkanya. Sebagaimana terdapat dalil-dalil tentang shalat-shalat sunnah meskipun dalam konteks kalimatnya digunkan pula dengan kata kerja perintah.

Apabila dalil tentang wajibnya shalat ditetapkan oleh Al-Quran, tentu harus ditemukan ayat yang berhubungan secara langsung dengan perintah mendirikan shalat, misalnya firman Allah SWT. Dalam surat Al-Isra’ ayat 78 yang artinya: “ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat pula) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S.Al-Isra’:78)

Kata aqim merupakan fi’lu al-amr maka kaidah ushul fiqhnya pun sama, al-ashl fi al-amr lilwujub. Ayat tersebut menetapkan kewajiban shalat ketika matahari tergelincir, yakni dhuhur dan ashar, dan shalat ketika matahari terbenam menuju gelap malam, yakni magrib dan isya’, serta shalat fajar, yakni shalat subuh. 

Itulah gambara kegunaan ushul fiqh dalam kaitannya dengan penerapan kaidah bahasa dan kaidah hukum, sedangkan dalam konteks yang lebih luas, ushul fiqh membahas tentang makna leksikal suatu dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun  Al-Hadits, seperti pembahasan tentang manthuq dan mahkum

3. Ruang lingkup kajian ushul fiqh

Dari definisi ushul fiqh diatas, terlihat jelas bahwa objek kajian ushul fiqh secara garis besarnya ada tiga, yaitu:

1.      Sumber hukum dengan semua seluk-beluknya.

2.      Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.

3.      Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahanya.

Muhammad Al-Juhaili memerinci objek kajian ushul fiqh sebagai berikut: 

1. Sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati seperti Al-Quran dan As-Sunnah, maupun yang          dipersilisihkan, seperti ihtisan dan mashlahah mursalah.

2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.

3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, antara ayat dan ayat atau               sunnah dan sunnah, baik dengan jalan pengompromian (Al-jam’u wa At-taufiq), penguatan salah satu     (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain). 4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik bersifat tuntutan,     larangan, pilihan atau keringanan  (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum alaih             (orang yang dibebani), dan lain-lain. 

5. Pembahasan kaidah-kaidah yang digunakan dalam meng-istinbath hukum dan cara menggunakanya.

Ushul fiqh merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath  hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mekallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqh memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqh memandang dalil hanya sebagai rujukanya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah, sedangkan fiqh sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut. Demikian menurut Rahmat Syafi’i. Ushul fiqh merupakan metode yang sangat logis dalam menyusun terminologi dan kesimpulan. Penalaran logisnya terlihat dalam kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan kandungan hukum yang terdapat dalam sumber ajaran islam.

Para ulama menyepakati bahwa ushul fiqh merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan Rasulnya, baik yang berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, muamalat, uqubah, bahkan maupun akhlak. 


[1]

Tidak ada komentar