BAB III Haid, Istihadlah dan Nifas. Fikih X Sem. 1
BAB III
HAID, ISTIHADLAH, DAN NIFAS
A. HAID
1.
Definisi Haid
Kata haid dalam Bahasa Arab bermakna الظُلان
yang berarti mengalir. Sedangkan menurut istilah syara‟ adalah darah yang
keluar dari kemaluan perempuan saat usia yang mungkin terjadi kehamilan bukan
karena penyakit ataupun melahirkan.
Menurut jumhur ulama, seorang perempuan dikatakan mengalami haid
ialah ketika ia telah mencapai usia 9 tahun. Sehingga darah yang keluar dari
kemaluan anak kecil yang belum berusia 9 tahun tidak dianggap sebagai haid,
hanya saja hal itu disebut darah istihadlah. Sedangkan batas usia maksimal
seorang perempuan dapat mengalami haid, menurut madzhab Syafi‟i adalah tanpa
batas usia.
Berbeda dengan madzhab Syafi‟i, tiga madzhab lainnya memberikan
batas usia maksimal seorang perempuan dapat mengalami haid. Hanya saja mereka
berbeda pendapat dalam usia tersebut. Madzhab Maliki menyatakan bahwa usia
maksimal perempuan dapat haid adalah 70 tahun, selebihnya jika ada darah yang
keluar disebut darah istihadlah. Madzhab Hanafi memilih usia di atas 55 tahun
dan madzhab Hambali pada usia 50 tahun.
2.
Batas Waktu
Haid Batas minimal seorang perempuan dinyatakan haid adalah jika
darah yang keluar masih dalam rentang waktu sehari semalam. Sehari semalam yang
dimaksud di sini adalah setara dengan 24 jam. Apabila seorang perempuan melihat
darah keluar dari kemaluannya dan berhenti sebelum melalui 24 jam maka tidak
disebut haid. Namun, perlu diingat bahwa bukan berarti darah yang keluar harus
terus menerus selama sehari semalam, tetapi keluarnya darah tersebut mungkin
terputus-putus namun masih dalam batas waktu 24 jam.
Sebagai contoh, si A melihat darah keluar pada waktu awal dhuhur,
kemudian dia tidak melihat lagi sampai waktu maghrib, dan darah berhenti kembali
sampai dia melihat lagi pada awal dhuhur. Maka kondisi ini disebut haid. Bila
sampai dhuhur ia tidak melihat ada darah yang keluar lagi maka tidak termasuk
haid.
Adapun batas maksimal haid seorang perempuan adalah 15 hari
(dihitung dengan malam harinya). Jika darah keluar setelah 15 hari maka tidak
termasuk haid, tetapi darah istihadlah. Walaupun seorang perempuan memiliki
siklus haid seperti 6 hari setiap bulan, jika masih ada darah yang keluar dalam
kurun waktu 15 hari tersebut tetap disebut haid.
Batas minimal suci bagi perempuan adalah 15 hari. Apabila seorang
perempuan mengalami menstruasi selama 3 hari, kemudian terputus sampai 14 hari
atau kurang, maka darah yang keluar setelahnya bukanlah darah haid. Sedangkan
batas maksimal suci bagi perempuan adalah tidak terbatas.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan apapun warnanya, tetap
dianggap darah haid selama memenuhi ketentuan yang telah disyariatkan. Hanya
saja, warna-warna tersebut menunjukkan status kekuatannya. Warna merah tidak
sekuat warna hitam, tetapi ia lebih kuat dari warna merah kekuningan (شقزØ). Sedangkan warna كدرØ
keruh (antara hitam dan putih) lebih kuat dari warna kuning, tetapi lebih lemah
dari warna pirang tadi.
Perbedaan warna ini menjadi tampak implikasinya ketika darah yang
keluar bukan satu warna, sehingga perlu ditentukan kapan haid dan kapan
istihadlah. Sebagai contoh, si A keluar darah warna hitam 5 hari, kemudian 3
hari selanjutnya warna merah. Di sini muncul pertanyaan apakah haid dihitung 5
hari sesuai dengan ketentuan bahwa warna hitam lebih kuat dari warna merah,
ataukah semua dianggap haid karena masih dalam kurun waktu 15 hari?
B.
Istihadlah
1.
Pengertian Istihadlah
Istihadlah adalah keluarnya darah dari kemaluan perempuan bukan
pada masa haid ataupun nifas. Perempuan yang belum berusia 9 tahun apabila
melihat darah keluar dari kemaluannya tidak disebut haid tetapi darah
istihadlah. Begitupun darah yang keluar melebihi batas hari maksimal haid
ataupun sebaliknya, di mana darah yang keluar tidak sampai batas minimal haid
juga disebut istihadlah.
Status istihadlah dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari adalah
seperti beser, yaitu hadats kecil. Ia masih boleh puasa, shalat, berhubungan
suami-istri, dan ibadah lainnya. Namun, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh perempuan yang istihadlah, di antaranya:
a.
Hendaknya
berhati-hati dalam bersesuci dan menghilangkan najis.
b.
Sebelum
berwudlu hendaknya terlebih dahulu membersihkan kemaluan, kemudian disumbat
dengan kapas atau kain.
c.
Selalu
membasuh ulang bagian kemaluan dan sekitarnya setiap akan berwudlu.
d.
Untuk
ibadah fardhu seperti shalat 5 waktu, harus selalu memperbaharui wudlu,
sedangkan ibadah sunnah boleh dengan sekali wudlu untuk melaksanakan banyak
shalat sunnah.
e.
Hendaknya
menyegerakan shalat setelah berwudlu. Dan hendaknya pula berwudlu ketika telah
masuk waktu shalat. Apabila wudlu dilakukan di awal waktu dan baru shalat di
akhir waktu, jika sebab keterlambatan adalah faktor keteledoran maka hal ini
dilarang.
2.
Klasifikasi
Mustahadlah
Darah yang keluar dari kemaluan seorang perempuan, apabila tidak
kurang dari batas minimal haid dan tidak melebihi jumlah maksimal hari yaitu 15
hari, maka apapun warna maupun aroma dari darah tersebut tetap dihukumi sebagai
darah haid. Sehingga berlaku bagi perempuan tersebut larangan-larangan yang
sama seperti larangan bagi orang yang jinabat. lantas bagaimana darah yang
keluar tersebut melebihi batas maksimal? Kondisi inilah yang disebut
istihadlah. Seperti apabila seorang perempuan melihat pada awal haid darah
keluar selama 3 hari dan 12 hari selanjutnya tidak ada darah yang keluar, namun
darah keluar lagi selama 3 hari berikutnya. Maka darah yang keluar pada 3 hari
terakhir dianggap darah istihadlah atau darah fasad.
Guna memudahkan untuk memahami dan menentukan waktu haid dan
istihadlah, Syeikh Khatib as-Syarbini (w. 977 H) dalam kitabnya Mughni
al-Muhtaj membagi kondisi mustahadlah ke dalam 7 golongan, yaitu:
a.
Mubtadi‟ah mumayyizah
Yang dimaksud dengan mubtadi‟ah adalah perempuan yang baru pertama
kali megalami haid. Sedangkan mumayyizah berarti dia mampu membedakan warna
darah yang keluar pada saat haid dan mengetahui mana yang lebih kuat di
antaranya. Sehingga ia dihukumi haid pada waktu darah yang keluar lebih kuat,
dan istihadlah pada kondisi sebaliknya. Kondisi ini harus memenuhi tiga syarat,
yaitu 1) darah yang lebih kuat tidak lebih dari 15 hari; 2) darah tersebut juga
tidak kurang dari sehari semalam; dan 3) darah yang lemah tidak kurang dari
batas minimal suci jika darah tidak terputus. Jika terputus atau darah yang
lemah disela-selai oleh darah yang kuat tidak dianggap sebagai mumayyizah.
Syarat-syarat di atas perlu dipenuhi agar warna darah dapat
menentukan mana yang haid dan mana yang istihadlah. Apabila seorang perempuan
mengeluarkan darah hitam selama 16 hari kemudian darah merah selama 12 hari
maka tidak memenuhi syarat yang pertama. Jika darah hitam keluar selama 12 jam
kemudian 15 hari selanjutnya darah merah, maka tidak memenuhi syarat kedua.
Jika darah hitam keluar selama tiga hari, kemudian darah merah keluar selama 13
hari dan dilanjutkan darah hitam selama 16 hari, maka tidak memenuhi syarat
ketiga.
Contoh kasus dalam hal ini adalah apabila seorang perempuan mengeluarkan
darah hitam selama tiga hari, dan dilanjutkan dengan darah merah selama sepuluh
hari, maka sebelum melewati masa 15 hari dia masih dihukumi haid. Hal ini
karena dimungkinkan darah terputus sebelum masa 15 hari berlalu. Apabila telah
melewati 15 hari baru diketahui dia mustahadlah mumayyizah. Sehingga haidnya
adalah darah yang berwarna hitam, sedangkan sisanya yang berwarna merah adalah
istihadlah. Dalam kondisi ini ia harus segera mandi wajib dan melaksanakan
kewajiban sebagaimana biasa, juga perlu mengqadha beberapa shalat yang
ditinggalkan pada hari-hari ia mengeluarkan darah merah.
Apabila ini telah menjadi kebiasaan atau adat dia dalam haid, maka
pada bulan-bulan selanjutnya tidak perlu menunggu 15 hari untuk bersesuci.
Tetapi ketika darah yang kuat menjadi lemah saat itulah ia harus segera mandi
wajib.
b.
Mubtadi‟ah ghoiru mumayyizah
Yang membedakan kondisi ini dengan kondisi sebelumnya adalah adanya
syarat yang tidak terpenuhi sehingga tidak termasuk ke dalam kategori
mumayyizah. Pada kondisi ini apabila darah yang keluar melebihi maksimal masa
haid, maka haidnya adalah minimal masa haid yaitu sehari semalam dan masa
sucinya adalah 29 hari. Hal ini disebabkan haid yang yakin adalah sehari
semalam, sedangkan sisanya adalah darah yang diragukan (masykuk).
c.
Mu‟tadah mumayyizah
Mu‟tadah adalah perempuan yang telah terbiasa mengalami haid,
sehingga ia telah mengetahui kapan dan berapa lama ia haid karena telah menjadi
kebiasaan atau adat baginya.
Pada kondisi ini, apabila mengalami istihadlah maka dapat dihukumi
tamyiz jika terpenuhi syarat tamyiz, jika tidak maka dihukumi sebagaimana
kebiasaan haid sebelumnya. Contoh kasusnya:
1)
Apabila
seorang perempuan memiliki adat atau kebiasaan haid selama 7 hari, kemudian ia
mengeluarkan darah hitam selama 8 hari dan dilanjutkan dengan darah merah
selama 9 hari, maka haidnya adalah yang hitam saja.
2)
Seorang
perempuan mengeluarkan darah selama 16 hari sedangkan ia memiliki kebiasaan
haid selama 6 hari, maka ia tidak termasuk mumayyizah dan haidnya dihukumi
sebagaimana adat haidnya.
d.
Mu‟tadah ghairu mumayyizah
Kondisi ini adalah di mana seorang perempuan mengetahui kebiasaan
haidnya yang terdahulu tetapi tidak memenuhi syarat tamyiz sehingga hukum
haidnya adalah kembali kepada kebiasaan haid yang terdahulu. Hal ini didasarkan
pada hadis Ummu Salamah ra. :
Artinya:
“Diriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah Saw. ada seorang perempuan yang
melihat banyak darah keluar dari kemaluannya, lantas Ummu Salamah ra. meminta
fatwa kepada Rasulullah Saw dan dijawab oleh beliau „hendaknya ia melihat
jumlah malam dan hari di mana ia terbiasa haid sebelumnya, maka tinggalkanlah
shalat sejumlah hari itu‟.” (HR. An-Nasa‟i dan lainnya).
Untuk menentukan kebiasaan („aadah) dapat dilihat dari waktu haid
dan suci meskipun baru sekali terjadi. Misalkan seseorang setiap kali haid
selalu berlangsung selama 3 hari, kemudian pada bulan selanjutnya ia haid
selama 5 hari. Pada bulan selanjutnya ia mengalami istiadlah, maka hukum
haidnya bila ia bukan mumayyizah dikembalikan kepada yang 5 hari meskipun yang
5 hari ini baru sekali.
C.
Nifas
Nifas adalah darah yang keluar
setelah proses melahirkan, baik yan terlahir berbentuk sempurna maupun masih
berupa segumpal daging. Ini adalah pendapat Syafi‟iyyah. Adapun batas maksimal
nifas adalah 60 hari, dan umumnya perempuan mengalami nifas selama 40 hari.
Berdasarkan hadis Ummu Salamah ra:
Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa
perempuan-perempuan yang nifas pada masa Rasulullah Saw. mengalami nifas selama
empat puluh hari atau empat puluh malam.” (HR. Ahmad)
Tidak ada batas minimal pada nifas,
tetapi dapat dipahami bahwa batas minimalnya adalah apa yang terlihat setelah
proses melahirkan meskipun sedikit. Apabila seorang perempuan melahirkan dan
darah tidak lagi keluar setelah itu, maka saat itu ia dihukumi telah berakhir
nifasnya dan ia memiliki kewajiban sebagaimana bila dalam kondisi suci, tentu
saja setelah melakukan mandi besar.
D.
Larangan Bagi Orang yang Haid dan Nifas
Bagi
perempuan yang mengalami haid ataupun nifas, ada beberapa hal yang tidak
boleh dilakukan, di antaranya:
1.
Semua
aktifitas ibadah yang dilarang bagi orang yang jinabat juga dilarang bagi
perempuan yang haid dan nifas. Di antaranya shalat, menyentuh al-Qur‟an ataupun
membacanya.
2.
Puasa
juga dilarang bagi perempuan haid dan nifas. Apabila haid atau nifas terjadi
pada bulan Ramadhan maka wajib mengganti puasanya di waktu lain, berbeda dengan
shalat.
3.
Melakukan
hubungan suami istri.
4.
Masuk
masjid, baik berdiam diri di sana ataupun tidak.
Tidak ada komentar