P.2 BAB III Peradilan Islam | Fikih XI Sem. 2
BAB
III
2. HUKUM
PERADILAN ISLAM
d. Tata Cara Menentukan
Hukuman
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan
secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa
(tertuduh) diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan tuduhannya dengan
sebaikbaiknya sehingga apabila tuduhan sudah selesai, terdakwa bisa menilai
benar tidaknya tuduhan tersebut. Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai
disampaikan, hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa, sebab dikhwatirkan
akan memberikan pengaruh positif atau negatif kepada terdakwa.Setelah pendakwa
selesai menyampaikan tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan-tuduhan tersebut
dengan beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya, tuduhan tersebut
harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang benar Jika terdakwa menolak dakwaan
yang ditujukan kepadanya, maka ia harus bersumpah bahwa dakwaan tersebut salah.
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti
yang benar maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa
menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya, jika terdakwa mampu mementahkan
bukti-bukti pendakwa dan menegaskan bahwa bukti-bukti itu salah, maka hakim
harus menerima sumpah terdakwa dan membenarkannya.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga,
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan vonis hukuman dalam beberapa keadaan
berikut:
1) Saat marah
2) Saat lapar
3) Saat kondisi isiknya tidak stabil karena
banyak terjaga (begadang)
4) Saat sedih
5) Saat sangat gembira
6) Saat sakit
7) Saat sangat ngantuk
8) Saat sedang menolak keburukan yang
tertimpakan padanya
9) Saat merasakan kondisi sangat panas atau
sangat dingin
e. Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab
Maliki, Syai’i dan Hambali tidak membolehkan pengangkatan hakim wanita.
Sedangkan Imam Hanai membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk menyelesaikan
segala urusan kecuali urusan had dan qishash.
Bahkan
Ibnu Jarir ath-Thabari membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala
urusan seperti halnya hakim pria. Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan
fatwa dalam segala macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk
menjadi hakim dan memutuskan perkara apapun.
3.
Saksi
a.
Pengertian Saksi
Saksi adalah orang yang diperlukan
pengadilan untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan suatu perkara,
demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pengadilan.
b. Syarat-syarat Menjadi
Saksi
1) Islam.
2) Sudah dewasa atau baligh sehingga dapat
membedakan antara yang hak dan yang bathil.
3) Berakal sehat.
4) Merdeka (bukan seorang hamba sahaya).
5) Adil.
Untuk dapat dikatakan sebagai orang yang
adil, saksi harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :
§ Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
besar.
§ Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
kecil
§ Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah
§ Dapat mengendalikan diri dan jujur saat
marah
§ Berakhlak mulia
Mengajukan kesaksian secara suka rela
tanpa diminta oleh orang yang terlibat dalam suatu perkara termasuk akhlak
terpuji dalam Islam. Kesaksian yang demikian ini merupakan kesaksian murni yang belum dipengaruhi oleh persoalan lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya : “Maukah kalian aku beritahu tentang
sebaik-baik saksi? ia adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya sebelum
diminta (HR. Muslim)
c. Saksi yang Ditolak
Jika saksi tidak
memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kesaksiannya harus ditolak.
Kriteria saksi yang ditolak kesaksiannya adalah:
§ Saksi yang tidak adil.
§ Saksi seorang musuh kepada musuhnya.
§ Saksi seorang ayah kepada anaknya.
§ Saksi seorang anak kepada ayahnya.
§ Saksi orang yang menumpang di rumah terdakwa.
4.
Penggugat dan Bukti (Bayyinah)
Gugatan adalah materi yang dipersoalkan oleh kedua
belah pihak yang terlibat perkara, dalam proses peradilan disebut gugatan.
Sedangkan penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa
dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat). Penggugat dalam mengajukan
gugatannya harus dapat membuktikan kebenaran gugatannya dengan menyertakan
bukti-bukti yang akurat, saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah.
Ucapan sumpah dapat diucapkan dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini
tidak benar, maka Allah akan melaknat saya”.
Ketiga hal
tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat, saksi-saksi yang adil, dan
sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.
Barang Bukti (bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan
oleh penggugat untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti-bukti tersebut
dapat berupa suratsurat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang dapat
memperjelas masalah terhadap terdakwa.
Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan.
Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan harus
terlebih dahulu dicari tahu sebab ketidak hadirannya. Menurut imam Abu Hanifah
mendakwa orang yang tidak ada atau tidak hadir dalam persidangan diperbolehkan.
5.
Tergugat dan Sumpah
a.
Pengertian Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut
tergugat. Dalam peradilan Islam ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami:
§ Materi gugatan disebut hak
§ Penggugat disebut mudda’i
§ Tergugat disebut mudda’a ‘alaih
§ Keputusan mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
§ Orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya
disebut mahkum bih (istilah ini bisa
b.
Tujuan Sumpah
Tujuan sumpah dalam perspektif Islam adal dua, yaitu:
¨
Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan
bertanggung jawab terhadap tugas tersebut
¨
Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan dipihak yang
benar.
c.
Syarat-syarat Orang yang Bersumpah
Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat
berikut:
1)
Mukallaf
2)
Didorong oleh kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun
3)
Disengaja bukan karena terlanjur
d.
Lafadz-lafadz Sumpah
Ada tiga lafadz yang bisa digunakan untuk bersumpah,
yaitu:((Ø«َالله – بِاللهِ - Ùˆِاللهِ. Arti
ketiga lafadz tersebut adalah “demi Allah”.
e.
Pelanggaran Sumpah
Konsekuensi
yang harus dilakukan oleh seseorang yang melanggar sumpah adalah membayar
kaffarah yamin (denda pelanggaran sumpah) dengan memilih salah satu dari ketiga
ketentuan berikut:
1)
Memberikan makanan pokok pada sepuluh orang miskin, dimana masingmasing
dari mereka mendapatkan ¾ liter.
2)
Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh orang miskin.
3)
Memerdekakan hamba sahaya.
Jika pelanggar sumpah masih juga tidak mampu membayar
kaffarah dengan melakukan salah satu dari 3 hal di atas, maka ia diperintahkan
untuk berpuasa tiga hari . sebagaimana hal ini Allah jelaskan dalam firmannya:
Artinya : “Maka kafarat ( melanggar) sumpah itu ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah
puasa selama tiga hari (QS. Al Maidah : 89)
Tidak ada komentar