Header Ads

ads header

Breaking News

Konsep Ushul Fiqih/XII IPA /Semester 1

B.     FIQH

a)   Pengertian Fiqh

Fiqh, menurut bahasa bermakna : tahu dan paham. Menurut istilah, ialah ilmu syari’at. Orang yang mengetahui ilmu fiqh dinamai Faqih. Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fiqh dengan : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”. Hukum ini juga dinamai hukum furu’, karena dipisahkan dari ushulnya, yakni diambil, dikeluarkan dari dalil-dalilnya (dalil-dalil syar’i) yang menjadi objek ushul fiqh. Jelasnya fiqh islam mempunyai ushul (pokok-pokok atau dasar-dasar) dan furu’ (cabang-cabang) yang diambilkan dari pokok tersebut.

Furu’nya (cabangnya) ialah : hukum-hukum Syara’ yang dipetik dari Al Kitab, As Sunnah, Al Ijma’, Al Qiyas, dan dari dalil-dalil syara’ yang lain. Mengingat hal ini, lebih tepat apabila ilmu fiqh itu dinamai Furu’ul Fiqh, sebagai imbangan dari ilmu Ushulul Fiqh.

Didalam kitab Durrul Mukhtar diterangkan, bahwa Fiqh mempunyai dua makna : makna ahli ushul dan makna ahli fiqh. Makna ahli ushul ialah : “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang tafshili (khusus, terperinci)”. Tegasnya, fiqh menurut ahli ushul ialah mengetahui hukum dari dalilnya.

Makna ahli fiqh (fuqaha) ialah : “mengetahui (menghafal) hukum furu’, baik bersama-sama dengan dalilnya atau tidak ”.  jelasnya, fiqh menurut fuqaha, ialah mengetahuihukum-hukum yang syara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf) yaitu : wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.      

b)   Jalan Mengetahui Fiqh

Fiqh diambil/digali dengan jalan ijtihad. Untuk mngetahuinya diperlukan perhatian dan ketekunan yang mendalam (ta’ammul).

c)    Objek Fiqh

Walaupun hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, seperti : wajib, haram, sunat, makruh, mubah, shah, batal, ada’ atau lainnya, namun dalam kenyataanya tersusun dari dua bagian : pertama, hukum-hukum syara’ amaliyyah dan kedua, dalil-dalil tafshiliyyah (yang jelas) mengenai hukum itu.

Hukum Fiqh diambil dari wahyu baik yang ditilawatkan (Al Qur-an) maupun wahyu yang tidak ditilawatkan (Sunnatur Rasul). Dalam pada itu, apabila mujtahid tidak memperoleh nash, maka dia menggali hukum itu dari ruh (jiwa) syari’at dan maksud-maksudnya. Ilmu Fiqh ini, dinamai juga dengan Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam

C.    SUMBER-SUMBER FIQH

a)   Al Qur’an

Lafadz Al Qur’an didalam uruf umum ialah kumpulan yang tertentu dari kalam Allah yang dibaca para hamba”. Al Qur’an dalam pengertian ini lebih terkenal dari lafadz al kitab dan lebih nyata. Karena al kitab juga dipakai untuk kitab-kitab yang lain, baik yang diturunkan kepada Nabi-Nabi maupun kitab-kitab lain. Al Qur’an adalah sinar Ilahi yang abadi, berkembang sinar cahayanya selama masih berkembang layar  alam ini.

Allah menurunkan Al Qur’an bersuku-suku, berangsur-angsur, adalah untuk menerangkan suatu hukum atau untuk menjawab suatu soal atau fatwa, dalam tempo 23 tahun. Hikmahnya dilakukan demikian, ialah supaya mudah dihafal oleh Rosul dan dipahami, dan supaya menarik untuk mempelajari pengertian ibadah atau urusan-urusan akhirat juga mengandung urusan-urusan rahasia dan tujuannya, bahkan merupakan rahmat bagi seluruh ummat. Dan Al Qur’an ini, selain mengandung urusan-urusan ibadat atau urusan-urusan akhirat, juga mengandung urusan-urusan dunia.

Al Qur’an terdiri dari 114 surat. Kira-kira 500 ayat mengenai hukum, yang lain mengenai aqidah akhlak dan sebagainya. Hukum yang dicakupi Al Qur’an mengemukakan kaidah-kaidah kulliyah (global). Tidak menerangkan hukum secara terperinci. Dan karenanyalah mempunyai daya tahan sepanjang masa dan dapat sesuai dengan suasana dan kondisi tiap-tiap masyarakat. Yang demikian ini pula segi kemu’jizatannya. Kebanyakan hukumnya mujmal (global), perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang menjiwai hukum-hukumnya, adalah menolak kemelaratan.[1][8] 

b)   As Sunnah

Yang dikehendaki dengan As Sunnah disini  ialah “ segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW”.

 As Sunnah adakala qauliyah yaitu hadist-hadist yang Nabi SAW Lafadhkan atau sabdakan, adakala fi’liyah yaitu sesuatu yang Nabi SAW kerjakan untuk disyariatkan dan adakala taqririyah, yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan sahabat di hadapan Nabi SAW dan Nabi SAW mengetahui orang mengerjakan dan Nabi berdiam diri.

Sunnah ialah sumber yang kedua tasyri’/syari’at  yang wajib kita ketahui. Sebagai bukti yang nyata bahwa Sunnah mempunyai daya hujjah dan menduduki tempat kedua sesudah Al Qur’an ialah sabda nabi SAW. Di dalam haji wada’: “aku tinggalkan padamu dua urusan, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudah keduanya : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

c)    Ijma’

kebulatan pendapat para mujtahidin dari umat Islam di sesuatu masa, sesudah berakhir zaman risalah terhadap sesuatu hukum syara’

Untuk menetapkan adanya ijma’ hendaklah :

1.         Berwujud ijma’ segala mujtahid terhadap sesuatu pendapat walaupun mereka berjumlah kecil asalkan tak ada lagi mujtahid yang dapat turut serta memberikan pendapat.

2.         Berwujud kesepakatan seluruh para mujtahid.

3.         Yang mereka ijma’i, masuk hukum syar’i yang dapat diwujudkan dengan ijtihad.

4.        Ijma’ itu berlaku sesudah Rasul wafat.

Ijma’ ada yang bersifat kalami, atau qauli dan yang bersifat amali. Ke dalam kedua macam ijma’ ini, tidak diperlukan berkumpul para mujtahid disuatu majlis. Suara mereka dapat diambil dengan jalan mengumpulkan mereka dalam suatu kongres.

d)   Qiyas

“Menghubungkan suatu urusan yang tidak ada nashnya baik dari Al Qur’an maupun sunnah dengan yang dinashkan hukumnya karena bersekutu tentang ‘illat yang karenanya disyariatkan hukum”

 Qiyas mempunyai empat rukun yaitu:

1.         Maqis ‘alaihi (asal = pokok)

2.         Maqis (furu’ = cabang)

3.         Illat

4.         Hukum pokok

Qiyas hanya dipergunakan terhadap kejadian yang tidak ada nash yang menentukan hukumnya dan qiyas itu tidak dapat dilakukan pada hukum-hukum yang sudah ada nashnya.



 

 

 

 

Tidak ada komentar